Wednesday, December 1, 2010

Nyeri

Protokol Standar Praktik Keperawatan : Manajemen Nyeri pada Lansia


Paradigma

Semua lansia akan bebas dari rasa nyeri, atau setidaknya nyeri yang mereka rasakan dapat dikendalikan ke tingkat yang dapat ditoleransi dan memungkinkan para lansia dapat tetap mempertahankan fungsi semaksimal mungkin.


Gambaran

Nyeri adalah keadaan yang biasa terjadi pada lansia, penilaian nyeri berhubungan dengan keadaan kronis (misalnya, osteoarthritis) dan akut (misalnya, kanker, operasi). Meskipun nyeri dianggap sebagai hal yang tidak sehat, namun fakta dari insiden nyeri yang terjadi di masyarakat menunjukkan manajemen rasa nyeri pada lansia kurang begitu diperhatikan. Gangguan kognitif akibat demensia dan/atau delirium merupakan tantangan khusus untuk manajemen nyeri, karena lansia dengan kondisi tersebut mungkin sulit atau tidak dapat mengungkapkan secara verbal nyeri yang mereka rasakan. Perawat sebagai bagian integral dari interdisplin tim perawatan, perlu memahami mitos yang berhubungan dengan manajemen nyeri, termasuk anggapan dan keyakinan bahwa nyeri merupakan hal yang normal sebagai efek dari penuaan untuk memberikan perawatan yang optimal dan memberikan edukasi pada pasien dan keluarga tentang pengelolaan nyeri.


Latar Belakang

A. Definisi

1. Nyeri didefinisikan sebagai pengalaman sensorik dan emosional yang tidak menyenangkan, rasa nyeri yang dirasakan oleh tiap individu dapat berbeda-beda tergantung dari ambang dan skala nyeri yang dirasakan. Hal ini menunjukkan adanya perbedaan simultan dan subjektif rasa nyeri pada tiap individu. Nyeri biasanya ditunjukkan dengan lamanya nyeri (misalnya, akut atau kronis/persisten) dan penyebabnya (misalnya, nociceptive atau neuropatik). Hal tersebut berimplikasi terhadap strategi manajemen nyeri.

2. Nyeri akut digambarkan sebagai efek dari cedera, operasi, atau kerusakan jaringan. Nyeri akut biasanya berhubungan dengan aktivitas otonom, seperti takikardia dan diaforesis. Nyeri akut berlangsung dalam waktu singkat dan dapat membaik dengan tindakan kuratif.

3. Nyeri kronis/persisten berlangsung dalam waktu lama (biasanya lebih dari 3 – 6 bulan). Nyeri kronis kemungkinan berhubungan dengan berlangsungnya proses penyakit dan aktivitas otonom. Nyeri kronis sering berhubungan dengan defisit fungsional, penurunan kualitas hidup, perubahan mood dan perilaku.

4. Nyeri nociceptive mengacu pada rasa sakit yang ditimbulkan oleh stimulasi reseptor nyeri perifer atau visceral. Nyeri jenis ini digambarkan sebagai efek dari berlangsungnya proses penyakit (misalnya, osteoarthritis), cedera jaringan lunak (misalnya, jatuh), dan terapi medis (misalnya, pembedahan, rupturisasi vena, dan prosedur lainnya). Nyeri kronis biasanya terlokalisasi dan bersifat responsif terhadap terapi.

5. Nyeri neuropatik mengacu pada rasa sakit yang disebabkan oleh kerusakan sistem saraf perifer atau pusat. Nyeri jenis ini berhubungan dengan diabetes neuropati, pasca-herpes dan nyeri saraf trigeminal, stroke dan kemoterapi untuk kanker. Penyebaran nyeri neuropatik biasanya lebih luas dan kurang responsif terhadap pengobatan analgesik.

B. Epidemiologi

1. Sekitar 50% dari lansia yang tinggal di masyarakat mengalami nyeri.

2. Sekitar 85% dari penghuni panti jompo mengalami nyeri.

C. Etiologi

1. Lebih dari 80% lansia mengalami kondisi medis atau penyakit kronis yang biasanya dikaitkan dengan nyeri, seperti osteoarthritis dan penyakit pada pembuluh darah perifer.

2. Lansia sering mengalami penyakit baik kronis dan/atau akut, dan mungkin merasakan beberapa jenis nyeri dari berbagai sumber atau komplikasi penyakit.

3. Nyeri memiliki efek besar bagi kesehatan, fungsi dan kualitas hidup lansia jika tidak diatasi. Nyeri bisa berhubungan dengan hal-hal sebagai berikut:

a. Depresi

b. Gangguan pola tidur

c. Penurunan sosialisasi dan penarikan atau isolasi diri

d. Defisit fungsional dan peningkatan ketergantungan

e. Eksaserbasi kerusakan kognitif

f. Peningkatan biaya dan penggunaan layanan kesehatan

4. Perawat memiliki peran penting dalam manajemen nyeri. Edukasi tehnik relaksasi dan meringankan nyeri merupakan dasar praktek keperawatan. Perawat perlu mengetahui tentang nyeri pada lansia untuk memberikan perawatan yang optimal, memberikan edukasi pada pasien dan keluarga dan serta bekerja secara efektif dalam interdisiplin tim perawatan kesehatan.

5. The Joint Commission on Accreditation of Healthcare Organizations (Komisi Gabungan Akreditasi Organisasi Kesehatan) sekarang memerlukan penilaian secara konvensional dan sistematis terhadap nyeri pada semua pasien rawat inap. Karena pasien lansia memiliki populasi besar di banyak lokasi perawatan akut, perawat harus memiliki pengetahuan dan keterampilan untuk mengatasi rasa nyeri secara spesifik yang dirasakan oleh tiap-tiap lansia.


Parameter Penilaian

A. Asumsi

1. Sebagian besar pasien lansia yang dirawat di rumah sakit mengalami nyeri akut dan/atau kronis.

2. Lansia dengan gangguan kerusakan kognitif yang mengalami nyeri kerap kali tidak dapat mengungkapkan nyeri yang dirasakannya secara verbal.

3. Baik pasien dan penyedia layanan kesehatan memiliki keyakinan dan pemahaman masing-masing, ketidakcukupan ilmu, dan keyakinan yang keliru tentang nyeri dan manajemen nyeri sehingga:

a. mempengaruhi proses manajemen nyeri

b. harus diprediksi sebelum proses meringankan nyeri yang optimal dapat tercapai

4. Penilaian nyeri harus teratur, sistematis dan didokumentasikan secara seksama untuk mengevaluasi efektivitas terapi

5. Pernyataan diri merupakan standar emas untuk penilaian nyeri.

B. Rencana Penilaian Nyeri

1. Mengkaji riwayat medis, pemeriksaan fisik serta laboratorium dan tes diagnostik untuk mengetahui proses atau kejadian yang berkontribusi terhadap rasa nyeri.

2. Menilai nyeri yang dirasakan saat ini, termasuk intensitas, karakter, frekuensi, pola, lokasi, durasi serta faktor yang dapat menimbulkan dan menghilangkan nyeri.

3. Mengkaji terapi, termasuk resep obat yang digunakan saat ini dan sebelumnya, obat yang dikontraindikasikan serta rawat jalan di rumah. Memeriksa tehnik atau manajemen nyeri sebelumnya yang telah efektif digunakan pasien. Mengevaluasi sikap dan keyakinan pasien tentang penggunaan analgesik, obat-obatan ajuvan dan perawatan non-farmakologis.

4. Gunakan alat ukur nyeri yang telah terstandarisasi untuk membantu pasien melaporkan sendiri nyeri yang dia rasakan. Pilih alat ukur yang telah tersedia dan ingat bahwa lansia kemungkinan kesulitan menggunakan 10 poin tingkat nyeri dari skala analog visual. Skala verbal vertikal yang menggambarkan ekspresi wajah saat nyeri mungkin lebih berguna pada lansia.

5. Mengkaji nyeri secara teratur setidaknya setiap 4 jam. Monitor intensitas nyeri setelah pemberian terapi atau obat untuk mengevaluasi efektivitasnya.

6. Amati tanda-tanda nonverbal dan kelakuan saat nyeri, seperti wajah meringis, withdrawal/menarik diri, melindungi bagian yang nyeri, menggosok, pincang, mengubah posisi, agresi, agitasi, depresi, ekspresi dan menangis. Perhatikan juga perubahan perilaku yang tidak biasa pada pasien.

7. Kumpulkan informasi dari anggota keluarga tentang insiden nyeri yang dialami pasien. Tanyakan tentang respon verbal dan nonverbal/perubahan perilaku pasien saat nyeri, terutama pada lansia dengan demensia.

8. Ketika muncul dugaan nyeri namun instrumen penilaian dan pengamatan terhadap nyeri bersifat tidak jelas, lakukan percobaan klinis dalam mengatasi nyeri (pada orang dengan demensia). Jika gejalanya menetap, anggap nyeri bersifat kronis dan lakukan terapi sesuai protokol.

C. Alat Penilaian

  1. Cara Penilaian

Intensitas nyeri yang dilaporkan sendiri oleh pasien merupakan alat pengukuran yang paling dapat diandalkan. Skala intensitas nyeri yang paling banyak digunakan digunakan dengan orang dewasa yang lebih tua adalah Numeric Rating Scale (NRS), Verbal Descriptor Scale (VDS) dan Face Pain Scale-Revised (FPS-R).

a. Skala numerik penilaian nyeri (NRS)

Pasien diminta memberikan penilaian rasa nyeri yang mereka rasakan mulai dari numerik 0 (tidak terasa nyeri) hingga numerik 10 (nyeri terparah yang bisa dibayangkan).

b. Skala penilaian nyeri secara verbal (VDS)

Pasien diminta menggambarkan rasa nyeri dari ’tidak nyeri’ – ’agak nyeri’ – ’sangat nyeri’.

c. Revisi skala nyeri berdasarkan ekspresi wajah (FPS-R)

Pasien diminta menggambarkan ekspresi wajah yang mereka keluarkan saat serangan nyeri terjadi.

  1. Target

Ketiga skala penilaian nyeri diatas dapat digunakan oleh semua masyarakat termasuk orang tua dengan nyeri akut atau perawatan jangka panjang. Meskipun terdapat alat khusus yang dapat digunakan lansia dengan gangguan kognitif untuk mengukur nilai nyeri secara non-verbal, namun penelitian telah menunjukkan bahwa NRS, VDS dan FPS-R juga efektif untuk digunakan pada lansia dengan gangguan kognitif. Namun skala yang digunakan pada tiap-tiap individu harus konstan.

  1. Kelebihan dan Kekurangan

NRS dapat digunakan pada pasien tanpa gangguan kognitif, berbeda dengan FPS-R yang lebih banyak digunakan pada pasien dengan gangguan kognitif. Namun alat penilaian nyeri secara cepat tersebut sebaiknya tidak menghilangkan pengkajian riwayat kesehatan secara menyeluruh dan pemeriksaan fisik yang spesifik untuk menentukan etiologi nyeri yang dirasakan pasien.


Rencana Keperawatan

A. Pencegahan

1. Kaji nyeri secara teratur untuk menentukan terapi yang tepat.

2. Antisipasi dan berikan pengobatan secara intensif sebelum, selama dan sesudah munculnya diagnostik nyeri dan/atau terapi terapeutik.

3. Berikan edukasi pasien, keluarga dan tim medis lain untuk menggunakan obat analgesik profilaktik sebelum dan setelah proses nyeri.

4. Berikan edukasi pasien dan keluarga tentang terapi atau obat nyeri yang diberikan beserta efek samping, resiko adiksi dan ketergantungan serta respon jangka panjang.

5. Berikan edukasi pasien untuk mengkonsumsi obat atau melakukan terapi nyeri secara teratur untuk menghindari resiko peningkatan rasa nyeri.

6. Berikan edukasi pasien, keluarga dan tim medis lain untuk menggunakan strategi non-farmakologis untuk mengatasi rasa sakit, seperti relaksasi, pijat dan pemberian buli-buli panas/dingin.

B. Pedoman Pengobatan

1. Farmakologis

a. Lansia memiliki resiko besar peningkatan efek merugikan dari reaksi obat.

b. Monitor pengobatan secara teratur untuk menghindari over atau kekurangan dosis pengobatan.

c. Anjurkan penggunaan obat nyeri secara teratur untuk mempertahankan tingkat terapeutik.

d. Dokumentasikan rencana keperawatan untuk mempertahankan konsistensi pengobatan tiap pergantian jaga dan dengan tim medis lain.

e. Gunakan dosis terapeutik untuk mendapatkan efek pengobatan nyeri yang optimal dengan sedikit efek samping.

2. Non-farmakologis

a. Kaji keyakinan dan perubahan perilaku, preferensi dan pengalaman terapi nyeri secara non-farmakologis.

b. Evaluasi respon terapi non-farmakologis pada tiap-tiap individu.

c. Strategi perubahan perilaku kognitif yang berfokus pada mengubah persepsi lansia terhadap nyeri (misalnya, pemberian edukasi, terapi relaksasi dan distraksi) kemungkinan tidak sesuai untuk diterapkan pada lansia dengan gangguan kognitif.

d. Untuk mengurangi rasa nyeri pada lansia diperlukan edukasi yang berfokus untuk meningkatkan kenyamanan dan mengubah respon fisiologis terhadap nyeri (misalnya, pemberian buli-buli panas/dingin, TENS unit) yang umumnya bersifat aman dan efektif.

3. Kombinasi dari terapi nyeri secara farmakologis dan non-farmakologis seringkali lebih efektif.

C. Follow-up

1. Pantau efek pengobatan 1 jam setelah terapi diberikan atau setidaknya tiap 4 jam.

2. Evaluasi respon dan kemungkinan efek samping pengobatan pada pasien.

3. Dokumentasikan respon pasien terhadap terapi.

4. Dokumentasikan jadwal terapi pasien dalam rencana keperawatan untuk pemberian implementasi yang berkesinambungan berikutnya.


Kriteria Hasil

A. Pasien

1. Nyeri akan hilang atau berkurang pada tingkat yang dapat ditoleransi pasien.

2. Mempertahankan bahkan meningkatkan tingkat self care, kemampuan fungsional dan aktivitas.

3. Tidak mengalami komplikasi seperti kolaps, gangguan/perdarahan GI atau perubahan status kognitif.

B. Perawat

1. Akan menunjukkan indikasi penilaian nyeri yang berkelanjutan dan komprehensif.

2. Akan menunjukkan dokumentasi intervensi manajemen nyeri yang efektif.

3. Akan menunjukkan dokumentasi evaluasi yang sistematis terhadap efektivitas terapi.

4. Akan memberikan edukasi manajemen nyeri pada pasien dan keluarga, termasuk penilaian tingkat nyeri, terapi nyeri, intervensi non-farmakologis.

C. Institusi

1. Fasilitas dan institusi akan menunjukkan dokumentasi penilaian nyeri, intervensi dan evaluasi efektivitas terapi.

2. Fasilitas dan institusi akan menunjukkan dokumentasi rujukan ke spesialis untuk terapi tertentu (misalnya, psikiatri, psikologi, biofeedback, fisioterapi atau pusat terapi nyeri).

3. Fasilitas dan institusi akan menunjukkan dokumentasi sumber daya manajemen nyeri untuk staf (misalnya, konsultan manajemen nyeri, rencana keperawatan dan indikasi manajemen nyeri).


Referensi

1. American Geriatrics Society Panel on Persistent Pain in Older Persons. 2002. The management of persistent pain in older persons. Journal of the American Geriatrics Society. Evidence Level VI: Expert Opinion. New York University : Hartford Institute For Geriatric Nursing.

2. Ann L. Horgas, RN PhD FGSA FAAN, Saunjoo L. Yoon, PhD, RN. 2008. Nursing Standard of Practice Protocol: Pain Management in Older Adults. New York University : Hartford Institute For Geriatric Nursing.

3. C.L. Hicks, C.L. von Baeyer, P.A. Spafford, I. van Korlaar, & B. Goodenough. 2001. The Faces Pain Scale – Revised. Toward a Common Metric in Pediatric Pain Measurement. International Association for the Study of Pain.

4. Ellen Flaherty, PhD, APRN, BC. 2007. Pain Assessment for Older Adults. New York University : Hartford Institute For Geriatric Nursing.

5. Harkins, S. W. 2002. Persistent pain in older adults: An interdisciplinary guide for treatment. New York : Springer Publishing Company.

6. Herr, K., Spratt, K., Mobily, P., & Richardson, G. 2004. Pain intensity assessment in older adults: Use of Experimental Pain to Compare Psychometric Properties and Usability of Selected Scales in Adult and Older Populations. Clinical Journal of Pain. New York University : Hartford Institute For Geriatric Nursing.

7. Horgas, A. L. & Yoon, S. L. 2008. Pain management. Evidence-based geriatric nursing protocols for best practice. New York : Springer Publishing Company, Inc.

8. Jacox, A., Carr, D.B., Payne, R., et al. 1994. Management of Cancer Pain. Clinical Practice Guideline No. 9. Rockville, MD : Agency for Health Care Policy and Research, U.S. Department of Health and Human Services.

9. Taylor, L., & Herr, K. 2003. Pain intensity assessment: A comparison of selected pain intensity scales for use in cognitively intact and cognitively impaired African American older adults. Pain Management Nursing. New York University : Hartford Institute For Geriatric Nursing.

10. Ware, J. Epps, C., Herr, K., & Packard, A. 2006. Evaluation of the revised faces pain scale, verbal descriptor scale, numeric rating scale, and Iowa pain thermometer in older minority adults. Pain Management Nursing. New York University : Hartford Institute For Geriatric Nursing.